"
Breathe, keep breathing. Don't lose your nerve" -
Radiohead



Page 361: Perjalanan Singkat ke Dua Kota di Thailand

/ Thursday, November 23, 2017 /
Dua puluh tujuh. Usia ketika kali pertama saya memutuskan untuk memulai tradisi “birthday trip” di minggu yang menyelipkan tanggal kelahiran saya. Pengingat bahwa hidup harus terus melaju. Bahwa hidup bukan hanya Jakarta, kota tempat saya lahir, dibesarkan, dan kembali ditempati selepas kuliah di kota lain. Karena hidup tak lain adalah perjalanan, di mana bukan hanya kaki yang melangkah dari satu titik ke titik lainnya dan menuai lelah di raga, tapi juga pikiran dan jiwa yang mereguk pengalaman dan pelajaran. Lewat tempat baru, situasi baru, orang baru.

Bagi saya, ada kenikmatan menjadi orang asing di tempat asing. Berinteraksi dengan orang lain walau sejenak. Namun yang paling saya nikmati adalah interaksi dengan diri saya sendiri. Tentang memori, tentang perjalanan yang sudah lewat, tentang hidup. Kontemplasi, saat melihat wajah-wajah yang saya tidak tahu namanya di keramaian dengan secangkir kopi yang saya tangkup dengan kedua telapak tangan. Kadang saya teringat kata teman saya kalau mungkin saya sudah bisa punya rumah dan mobil sendiri kalau penghasilan tidak dikeluarkan untuk jalan-jalan. Kalau saya sudah seharusnya menabung untuk masa depan dan mengurangi “hobi” itu. Haha. Karena walaupun tradisi jalan-jalan pada saat bertambah usia baru dimulai lima tahun lalu, jauh sebelumnya saya memang sudah menikmati aktivitas menjelajah tempat baru.

Mungkin teman saya ada benarnya. Tapi kalau saya tidak melakukan perjalanan ke Bali di pertengahan tahun ini mungkin saya tidak akan bertemu sosok itu. Dia, yang mengajarkan saya untuk berani lagi memulai komitmen baru dan belajar untuk mempercayai orang lain, tapi terutama diri saya sendiri, bahwa perjalanan yang kami mulai akan membuat kami menjadi dua individu yang lebih baik. Dia yang akhirnya menjadi rekan saya menjelajah tiga tempat terakhir yang saya kunjungi: Penang di Malaysia, lalu dua kota di Thailand, Chiang Mai dan Pai– meski bukan untuk merayakan ulang tahun saya. Dia, yang juga menyukai secangkir kopi hitam hangat di pagi hari.


Bisa dibilang semua berawal dari Traveloka. Semenjak 2016, traveloka selalu menjadi bagian dari perjalanan saya. Proses mencari tiket pesawat menjadi lebih mudah karena user interface appnya tidak membingungkan. Menurut saya tidak perlu ada panduan karena semua jelas di situ. Favorit saya adalah fitur best pricenya karena mempermudah memilih yang sesuai dengan budget. Cara menggunakan fitur ini juga sangat mudah. Cukup masuk ke aplikasi traveloka, pilih penerbangan, tekan tanggal, lalu aktifkan fiturnya di bagian bawah layar, harga tiket paling murah di tiap hari nya akan muncul. Perjalanan ke Bali waktu itu pun juga mengandalkan traveloka. Senang rasanya kalau melihat angka-angka berwarna hijau yang pas dengan kemampuan kantong. Haha. Merencanakan perjalanan jadi lebih sederhana dan bisa dipersiapkan lebih matang. Terutama untuk para pekerja yang harus mengajukan cuti dulu.

Perjalanan ke Thailand awal November kemarin untuk melihat Festival Loy Krathong dan Yee Peng juga jadi bisa karena dengan adanya fitur best price finder. Pada awal pencarian tiket, saya mencari dulu jadwal penerbangan dan harga tiket yang tersedia dari Jakarta ke Chiang Mai, kota tempat dua festival tersebut berlangsung. Ketika ternyata melebihi budget, saya putar otak mencari jalur lain ke Chiang Mai. Pilihan akhirnya jatuh ke penerbangan ke Bangkok terlebih dahulu, lalu melanjutkan ke Chiang Mai. Fitur best price finder membantu saya melakukan kalkulasi dan komparasi. 


Perjalanan mungkin memang tidak terlalu nyaman karena harus singgah juga di Kuala Lumpur International Airport dan Don Mueang Airport untuk transit, sebelum akhirnya sampai di Chiang Mai. Tapi rentang harga yang cukup jauh dan kesempatan meluruskan kaki sembari bekerja di lounge bandara membuat saya bisa melakukan banyak hal sekaligus dan tidak merasa waktu saya terbuang sia-sia.

Chiang Mai mengingatkan saya akan Yogyakarta. Sulit rasanya untuk tidak mencari perbandingan kota di tanah air sendiri tiap mengunjungi kota di Negara lain. Otomatis saja saat sudah mulai melepas lelah dan mengobservasi situasi kota, bukan karena berjaga-jaga agar bisa mendeskripsikannya ke orang lain. Saya tiba 31 Oktober malam hari. Setelah beristirahat, esok paginya kami mulai menjelajah Chiang Mai. Tidak jauh-jauh, hanya di china town, sekitar tempat kami menginap. Terutama karena saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, begitu juga dia. Hotel tempat kami menginap memberikan informasi mengenai acara-acara yang berlangsung selama festival beserta lokasinya, jadi kami bisa lebih mengatur rencana.

Sebuah kuil di Chiang Mai
Sekadar informasi, Festival Loy Krathong dan Yee Peng adalah dua festival yang berbeda namun diselenggarakan pada kurun waktu yang bersamaan dan kerap disebut Festival Cahaya Thailand (Thai Festival of Lights). Puncak acara Loy Krathong adalah menghanyutkan lentera di sungai. Lentera ini terbuat dari batang daun pisang dan dihiasi oleh bunga, lilin, daun pisang dan batang dupa. Puncak acara festival Yee Peng juga ditandai dengan pelepasan lentera, hanya saja tidak di sungai, melainkan ke langit. Lentera yang terbuat dari kertas akan mengembang karena udara panas yang dihasilkan saat sumbu lentera dibakar. Berdasarkan tradisi, mereka yang berpartisipasi di festival ini bisa mengucapkan permohonan sesaat sebelum menerbangkan atau menghanyutkan lentera karena dipercaya bisa membawa nasib baik selama setahun ke depan.


2 November menjadi hari pembuka festival yang berlangsung selama 3 hari tersebut. Tidak banyak kegiatan pada hari itu, hanya pertunjukan tarian tradisional Lanna di mana banyak perempuan – berdasarkan pemantauan saya mungkin jumlahnya mencapai 100 – memegang lilin yang menyala di sela-sela jari tangan dan berbaris rapi sembari menari di sepanjang jalan. Esoknya, tanggal 3 November, hari yang menjadi puncak festival dimulai dengan seremoni penyalaan lilin di kuil Wat Phan Tao pukul 18.30. Setelah menghabiskan satu jam menyaksikan festival, kami memutuskan untuk bergerak ke lokasi ke-dua yang menjadi pusat pelepasan lentera ke langit yang terletak sekitar 1 kilometer dari kuil tersebut. Di jalan yang saya lupa namanya, ratusan orang berkumpul dan siap menerbangkan lentera. Usai mengucapkan permohonan, kami melepas lentera yang untungnya tidak tersangkut di batang pohon atau terbakar.




Setelahnya kami beranjak untuk mengisi perut dan pulang karena esok akan melanjutkan perjalanan ke Pai. Tanggal 4 November pagi hari, kami berkemas dan menuju stasiun bus Chiang Mai. Pai adalah kota yang bisa dibilang sedang naik daun dan banyak direkomendasikan oleh para traveler dan warga setempat saat sudah di Chiang Mai karena letaknya yang hanya
3 jam perjalanan dengan minibus.

Tiket bus bisa dipesan online sehingga para penumpang hanya cukup melakukan konfirmasi di konter bus. Sekadar tips, tanyakan secara mendetail di mana kamu harus menunggu, nomor bus, dan sebagainya. Pasalnya, ketika kami sampai di sana, ada seorang turis yang ketinggalan bus karena mendapatkan informasi yang berbeda dari 2 orang petugas sehingga dia harus membeli tiket baru. Tips lain adalah siapkan obat untuk mencegah mabuk darat karena rute Chiang Mai – Pai sangatlah berliku. Saya yang tidak pernah minum obat anti mabuk akhirnya menyerah karena mulai mual dan pusing.

Pai terkenal akan alamnya yang indah dan kehidupan yang santai, namun tetap memiliki aktivitas outdoor yang cukup menantang. Dari pusat kota, wisatawan bisa mengunjungi sumber mata air panas, air terjun, hiking di Pai Canyon, bahkan sekolah sirkus.

Pai River, kalau tidak salah, haha.
Saat saya berada di Pai, hanya dua tempat wisata yang saya kunjungi, Pai Memorial Bridge dan Pai Canyon. Meski begitu, pemandangan yang saya lihat sepanjang jalan menuju dua lokasi tersebut juga menambah kesejukan hati. Pai Memorial Bridge sendiri dibangun pada 1941 saat Perang Dunia II, saat tentara Jepang ingin membuka jalur dari Chiang Mai ke Mae Hong Son untuk menyerang Burma yang pada saat itu merupakan koloni Inggris.

Pai Memorial Bridge
Usai melihat-lihat sejenak dan mengambil beberapa foto, kami kemudian beranjak ke Pai Canyon, salah satu lokasi paling terkenal di Pai. Untuk menjelajah, para pengunjung tidak dikenai biaya masuk. Tidak ada juga petugas yang berjaga, hanya rambu untuk berhati-hati dekat tangga yang mengarah ke ngarai.

Tangga menuju Pai Canyon
Sesampainya di atas, kami disambut pemandangan yang mengagumkan. Bukan hanya karena bisa melihat bukit-bukit dan gunung yang membentang, tapi juga struktur tebing dan punggung bukit yang menjadi jalur jika ingin menjelajah Pai Canyon. 


Jalur ini terbentuk secara alami di mana terdapat beberapa titik yang sangat sempit sehingga hanya bisa dilalui satu orang. Jika ada dua orang yang berpapasan, mau tidak mau harus berkoordinasi agar tidak ada yang terjatuh ke jurang, mengingat tidak ada pagar pengaman yang dipasang. Beberapa titik juga memiliki struktur menantang yang membuat pengunjung harus merangkak, memanjat, atau bahkan merosot pelan-pelan saat hiking.






Namun semua kecemasan dan debar jantung saat melalui struktur menantang menjadi harga yang pantas untuk “membeli” pemandangan indah dan perasaan lega yang khas, yang biasanya mampir di jiwa tiap berhasil mengatasi rintangan.

Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 5 sore lewat saat saya sibuk membersihkan tanah berkapur yang melekat di celana hitam saya. Saatnya pulang dan melepas lelah, mencoret dua nama lokasi di daftar rencana perjalanan saya. Perjalanan yang terlaksana karena mencoba berani untuk terus melangkah dan menjelajah. Karena bagi saya, hidup begitu adanya.

0 comments:


Labels

Free counters!

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Copyright © 2010 stickybunbook, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger