Dua puluh tujuh. Usia ketika kali pertama saya memutuskan
untuk memulai tradisi “birthday trip” di minggu yang menyelipkan tanggal
kelahiran saya. Pengingat bahwa hidup harus terus melaju. Bahwa hidup bukan
hanya Jakarta, kota tempat saya lahir, dibesarkan, dan kembali ditempati
selepas kuliah di kota lain. Karena hidup tak lain adalah perjalanan, di mana
bukan hanya kaki yang melangkah dari satu titik ke titik lainnya dan menuai
lelah di raga, tapi juga pikiran dan jiwa yang mereguk pengalaman dan
pelajaran. Lewat tempat baru, situasi baru, orang baru.
Bagi saya, ada kenikmatan menjadi orang asing di tempat
asing. Berinteraksi dengan orang lain walau sejenak. Namun yang paling saya
nikmati adalah interaksi dengan diri saya sendiri. Tentang memori, tentang
perjalanan yang sudah lewat, tentang hidup. Kontemplasi, saat melihat
wajah-wajah yang saya tidak tahu namanya di keramaian dengan secangkir kopi
yang saya tangkup dengan kedua telapak tangan. Kadang saya teringat kata teman
saya kalau mungkin saya sudah bisa punya rumah dan mobil sendiri kalau
penghasilan tidak dikeluarkan untuk jalan-jalan. Kalau saya sudah seharusnya
menabung untuk masa depan dan mengurangi “hobi” itu. Haha. Karena walaupun
tradisi jalan-jalan pada saat bertambah usia baru dimulai lima tahun lalu, jauh
sebelumnya saya memang sudah menikmati aktivitas menjelajah tempat baru.
Mungkin teman saya ada benarnya. Tapi kalau saya tidak
melakukan perjalanan ke Bali di pertengahan tahun ini mungkin saya tidak akan
bertemu sosok itu. Dia, yang mengajarkan saya untuk berani lagi memulai komitmen
baru dan belajar untuk mempercayai orang lain, tapi terutama diri saya sendiri,
bahwa perjalanan yang kami mulai akan membuat kami menjadi dua individu yang
lebih baik. Dia yang akhirnya menjadi rekan saya menjelajah tiga tempat terakhir
yang saya kunjungi: Penang di Malaysia, lalu dua kota di Thailand, Chiang Mai
dan Pai– meski bukan untuk merayakan ulang tahun saya. Dia, yang juga menyukai
secangkir kopi hitam hangat di pagi hari.
Bisa dibilang semua berawal dari Traveloka. Semenjak 2016,
traveloka selalu menjadi bagian dari perjalanan saya. Proses mencari tiket
pesawat menjadi lebih mudah karena user interface appnya tidak membingungkan.
Menurut saya tidak perlu ada panduan karena semua jelas di situ. Favorit saya
adalah fitur best pricenya karena mempermudah memilih yang sesuai dengan
budget. Cara menggunakan fitur ini juga sangat mudah. Cukup masuk ke aplikasi traveloka, pilih penerbangan, tekan tanggal, lalu aktifkan fiturnya di bagian bawah layar, harga tiket paling murah di tiap hari nya akan muncul. Perjalanan ke Bali waktu itu pun juga mengandalkan traveloka. Senang
rasanya kalau melihat angka-angka berwarna hijau yang pas dengan kemampuan
kantong. Haha. Merencanakan perjalanan jadi lebih sederhana dan bisa
dipersiapkan lebih matang. Terutama untuk para pekerja yang harus mengajukan
cuti dulu.
Perjalanan ke Thailand awal November kemarin untuk melihat
Festival Loy Krathong dan Yee Peng juga jadi bisa karena dengan adanya fitur
best price finder. Pada awal pencarian tiket, saya mencari dulu jadwal
penerbangan dan harga tiket yang tersedia dari Jakarta ke Chiang Mai, kota
tempat dua festival tersebut berlangsung. Ketika ternyata melebihi budget, saya
putar otak mencari jalur lain ke Chiang Mai. Pilihan akhirnya jatuh ke
penerbangan ke Bangkok terlebih dahulu, lalu melanjutkan ke Chiang Mai. Fitur
best price finder membantu saya melakukan kalkulasi dan komparasi.
Perjalanan mungkin memang tidak terlalu nyaman karena harus singgah juga di Kuala Lumpur International Airport dan Don Mueang Airport untuk transit, sebelum akhirnya sampai di Chiang Mai. Tapi rentang harga yang cukup jauh dan kesempatan meluruskan kaki sembari bekerja di lounge bandara membuat saya bisa melakukan banyak hal sekaligus dan tidak merasa waktu saya terbuang sia-sia.
Chiang Mai mengingatkan saya akan Yogyakarta. Sulit rasanya
untuk tidak mencari perbandingan kota di tanah air sendiri tiap mengunjungi
kota di Negara lain. Otomatis saja saat sudah mulai melepas lelah dan
mengobservasi situasi kota, bukan karena berjaga-jaga agar bisa mendeskripsikannya
ke orang lain. Saya tiba 31 Oktober malam hari. Setelah beristirahat, esok
paginya kami mulai menjelajah Chiang Mai. Tidak jauh-jauh, hanya di china town,
sekitar tempat kami menginap. Terutama karena saya masih harus menyelesaikan
beberapa pekerjaan, begitu juga dia. Hotel tempat kami menginap memberikan
informasi mengenai acara-acara yang berlangsung selama festival beserta
lokasinya, jadi kami bisa lebih mengatur rencana.
Sebuah kuil di Chiang Mai |
Sekadar informasi, Festival Loy Krathong dan Yee Peng adalah
dua festival yang berbeda namun diselenggarakan pada kurun waktu yang bersamaan
dan kerap disebut Festival Cahaya Thailand (Thai Festival of Lights). Puncak
acara Loy Krathong adalah menghanyutkan lentera di sungai. Lentera ini terbuat
dari batang daun pisang dan dihiasi oleh bunga, lilin, daun pisang dan batang dupa.
Puncak acara festival Yee Peng juga ditandai dengan pelepasan lentera, hanya
saja tidak di sungai, melainkan ke langit. Lentera yang terbuat dari kertas akan
mengembang karena udara panas yang dihasilkan saat sumbu lentera dibakar.
Berdasarkan tradisi, mereka yang berpartisipasi di festival ini bisa mengucapkan
permohonan sesaat sebelum menerbangkan atau menghanyutkan lentera karena
dipercaya bisa membawa nasib baik selama setahun ke depan.
2 November menjadi hari pembuka festival yang berlangsung
selama 3 hari tersebut. Tidak banyak kegiatan pada hari itu, hanya pertunjukan
tarian tradisional Lanna di mana banyak perempuan – berdasarkan pemantauan saya
mungkin jumlahnya mencapai 100 – memegang lilin yang menyala di sela-sela jari
tangan dan berbaris rapi sembari menari di sepanjang jalan. Esoknya, tanggal 3
November, hari yang menjadi puncak festival dimulai dengan seremoni penyalaan
lilin di kuil Wat Phan Tao pukul 18.30. Setelah menghabiskan satu jam menyaksikan
festival, kami memutuskan untuk bergerak ke lokasi ke-dua yang menjadi pusat
pelepasan lentera ke langit yang terletak sekitar 1 kilometer dari kuil
tersebut. Di jalan yang saya lupa namanya, ratusan orang berkumpul dan siap
menerbangkan lentera. Usai mengucapkan permohonan, kami melepas lentera yang
untungnya tidak tersangkut di batang pohon atau terbakar.
Setelahnya kami beranjak untuk mengisi perut dan pulang
karena esok akan melanjutkan perjalanan ke Pai. Tanggal 4 November pagi hari,
kami berkemas dan menuju stasiun bus Chiang Mai. Pai adalah kota yang bisa
dibilang sedang naik daun dan banyak direkomendasikan oleh para traveler dan
warga setempat saat sudah di Chiang Mai karena letaknya yang hanya
3 jam perjalanan dengan minibus.
3 jam perjalanan dengan minibus.
Tiket bus bisa dipesan online sehingga para penumpang hanya
cukup melakukan konfirmasi di konter bus. Sekadar tips, tanyakan secara
mendetail di mana kamu harus menunggu, nomor bus, dan sebagainya. Pasalnya,
ketika kami sampai di sana, ada seorang turis yang ketinggalan bus karena
mendapatkan informasi yang berbeda dari 2 orang petugas sehingga dia harus
membeli tiket baru. Tips lain adalah siapkan obat untuk mencegah mabuk darat
karena rute Chiang Mai – Pai sangatlah berliku. Saya yang tidak pernah minum
obat anti mabuk akhirnya menyerah karena mulai mual dan pusing.
Pai terkenal akan alamnya yang indah dan kehidupan yang
santai, namun tetap memiliki aktivitas outdoor yang cukup menantang. Dari pusat
kota, wisatawan bisa mengunjungi sumber mata air panas, air terjun, hiking di
Pai Canyon, bahkan sekolah sirkus.
Pai River, kalau tidak salah, haha. |
Saat saya berada di Pai, hanya dua tempat wisata yang saya
kunjungi, Pai Memorial Bridge dan Pai Canyon. Meski begitu, pemandangan yang
saya lihat sepanjang jalan menuju dua lokasi tersebut juga menambah kesejukan hati.
Pai Memorial Bridge sendiri dibangun pada 1941 saat Perang Dunia II, saat
tentara Jepang ingin membuka jalur dari Chiang Mai ke Mae Hong Son untuk
menyerang Burma yang pada saat itu merupakan koloni Inggris.
Pai Memorial Bridge |
Usai melihat-lihat sejenak dan mengambil beberapa foto, kami
kemudian beranjak ke Pai Canyon, salah satu lokasi paling terkenal di Pai. Untuk
menjelajah, para pengunjung tidak dikenai biaya masuk. Tidak ada juga petugas
yang berjaga, hanya rambu untuk berhati-hati dekat tangga yang mengarah ke
ngarai.
Tangga menuju Pai Canyon |
Sesampainya di atas, kami disambut pemandangan yang
mengagumkan. Bukan hanya karena bisa melihat bukit-bukit dan gunung yang
membentang, tapi juga struktur tebing dan punggung bukit yang menjadi jalur
jika ingin menjelajah Pai Canyon.
Jalur ini terbentuk secara alami di mana
terdapat beberapa titik yang sangat sempit sehingga hanya bisa dilalui satu
orang. Jika ada dua orang yang berpapasan, mau tidak mau harus berkoordinasi
agar tidak ada yang terjatuh ke jurang, mengingat tidak ada pagar pengaman yang
dipasang. Beberapa titik juga memiliki struktur menantang yang membuat pengunjung
harus merangkak, memanjat, atau bahkan merosot pelan-pelan saat hiking.
Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 5 sore lewat
saat saya sibuk membersihkan tanah berkapur yang melekat di celana hitam saya. Saatnya
pulang dan melepas lelah, mencoret dua nama lokasi di daftar rencana perjalanan
saya. Perjalanan yang terlaksana karena mencoba berani untuk terus melangkah
dan menjelajah. Karena bagi saya, hidup begitu adanya.
0 comments:
Post a Comment